365–7

t-anissa
2 min readSep 19, 2022

Mungkin saya harus berhenti menghitung, dan membiarkan setiap detik, menit, jam, dan segala ukuran waktu mengalir semestinya..

Namun apabila ini hanyalah ‘persinggahan’, bukankah saya harus selalu sadar untuk tahu kapan waktu yang tepat untuk harus beranjak, atau memutuskan tinggal lebih lama?

Hampir setahun saya berada di negeri ini.

Begitu cepat, terlalu cepat. Namun mungkin patut saya syukuri karena ‘toh ‘kecepatan’ ini membuat segala sesuatunya terasa mudah dijalani.

Ada rangkuman dalam jangka tiga bulan yang memberi makna tersendiri:

1) Tiga bulan pertama,

yang penuh pertanyaan dan hati yang tak menentu. Terlalu banyak turbulensi dalam akal dan rasa. Kala itu saya tidak siap untuk hadir dalam ruang ini, di sini, di tanah kelahiran diri sendiri. Ditambah lagi hadirnya pemeran lain yang tidak sengaja membangunkan segala ketakutan untuk memiliki, juga melepaskan. Rasa familiar yang lucunya juga asing, meski mungkin bukanlah untuk seseorang yang tepat.

2) Tiga bulan kedua,

yang kerap membuat saya ingin ‘kembali’ ke titik 0 untuk menyerah saja. Terlalu berat, terlalu banyak ‘input’ yang harus diterima dan diproses. ‘Ledakan-ledakan’ dalam pikiran yang juga membuat waktu berjalan begitu lama, ingin rasanya saya hentikan di tengah-tengah. Tapi purnama nan cantik di ujung sana selalu ‘mengingatkan’; “Sampai jumpa di bulan depan..”. Dan saya pun luluh.. Melangkah, meski perlahan, selalu merupakan pilihan yang lebih bijak dibandingkan diam atau berhenti.

“To live, is for the brave..”

3) Tiga bulan ketiga,

semesta berbaik hati memberi titik-titik terang, yang lalu menjadi jalan setapak untuk cerita yang lebih bermakna. Untuk kali pertama dalam ‘persinggahan’ ini, saya merasa ‘hidup’. Mungkin memang benar, tidak ada kesabaran dan perjuangan yang sia-sia, bila semuanya diniatkan untuk makna yang lebih besar daripada ukuran materi atau citra. Di bulan itu pula semuanya menjadi lebih jelas, bahwasanya di penghujung tahun lalu, saya hanyalah ‘titik singgah’, atau… pelipur gundah; sebuah jeda. Diri ini begitu naif kala itu, namun mungkin saya perlu mendapati ini, sekedar menjadi pengingat untuk mawas pada intuisi;

“Tak semua rasa tak terjabar patut dipersilakan masuk lebih dalam.”

4) Tiga bulan keempat,

‘kehilangan’ menjadi sebuah rasa dan situasi mutlak. Bahwa sejatinya, yang selalu ‘tinggal’ hanyalah potongan-potongan memori, percakapan, rasa, serta sosok lama karakter yang kita kenal. Kemarin tinggal cerita, pun sosok-sosok yang sudah menjadi pemeran di dalamnya. Perpisahan adalah satu-satunya hal yang lebih pasti dari pertemuan, sehingga tidak ada jalan lain selain mengapresiasi sebaik-baiknya ‘kehadiran’ siapapun itu, terutama mereka yang hadirnya disusul oleh rasa syukur. Mungkin benar kata orang bijak,

“We only have today..”

Pertanyaan ‘Where do I belong?’ rasanya akan selalu ada. Namun di tengah prosesnya, saya ingin memperjuangkan rasa ini:

“For the time being, I belong here.”

Sama seperti ketika saya ada dalam dekap hangat bersama mereka yang tulus menerima dan menyayangi saya, atau ketika saya tengah berbagi cerita dan tawa dengan mereka yang kini telah ‘pergi’..

At that time, I was home.

Dan mungkin memang begitu saja seharusnya saya mengolah rasa pulang, bahwasanya..

“Saya sudah selalu pulang, dalam multi dimensi rasa dan ruang..”

Selamat satu tahun singgah.

-T

--

--

t-anissa

Love to wonder, wander, write, and sometimes sketch people around. Future Pulitzer's recipient, because 'to dream is free'. (grin) I do my self-therapy here.